Dentuman musik yang mengalun bak menyatu dengan rintihan hujan, kini semakin memperkeruh suasana pagi yang terlanjur sendu. Kemarin, seseorang yang paling berarti dalam hidupku datang untuk menjauh. Kutatap kotak usang itu dan membukanya, tersisa lembar demi lembar kenangan didalamnya yang kini hanya menjadi angan – angan belaka. Separuh jiwaku telah pergi, terbawa oleh jarak yang kian menyesakkan dada.
AKASHI FOREVER. Aku tersenyum
miris, goresan tinta pada sepotong kertas bergambar burung itu belum hilang
sepenuhnya, hanya saja terlihat memudar dimakan usia. Yang kufikirkan saat ini
sederhana saja, apa persahabatan Kami
akan seperti itu? Rapuh termakan usia, hilang seiring berjalannya waktu.
“Kita sama – sama sudah beranjak
dewasa, punya mimpi masing – masing. Lagi pula perpisahan kali ini bukan akhir
segalanya kok.” Nada bicara serta penekanan pada setiap kata, bahkan huruf yang
diucap olehnya masih terekam jelas di memori otakku.
Apakah Raka hanya ingin
mengerjaiku? Oh, ya tuhan! Mengapa sedari tadi aku tidak memikirkan hal itu.
Pasti dia hanya bercanda! Mengingat sampai detil bagian hidupnya pun aku hafal.
Perilaku, sikap, makanan atau minuman kesukaan, warna favorit, artis yang Ia
gemari, hingga selera untuk setiap pakaian yang dikenakan pun sudah menjadi hal
yang biasa dalam hidupku. Sebelas tahun bersahabat bukanlah waktu yang sebentar
untuk mengenalinya, baik dari segi fisik maupun psikis.
Tak ingin membuang waktu Aku
segaja melangkah lebar – lebar menuju tempat yang selama ini menjadi saksi
persahabatan Kami berdua. Baik dikala duka maupun suka, derita, maupun bahagia tanpa
menggunakan alas kaki. Air yang menetes di permukaan kulit seakan tak terasa,
hampa bagaikan mati rasa.
Raka tak pernah berbohong, sekalipun sifat jahilnya selalu membuatku naik
darah.
Seperti sekarang ini, ia benar –
benar tak berbohong. Hal itu pula yang membuat tubuhku refleks menggigil tak
karuan, bukan sakit karena hujan es yang sungguh dingin luar biasa ini tak henti – hentinya mengguyur
tubuhku yang bisa dibilang rapuh, tapi beribu kali lipat lebih dari pada itu, apalagi
kalau bukan menerima kenyataan pahit yang membuatku ingin gantung diri sekarang
juga.
Usaha untuk meredam tangis yang kian
berderai, kini seolah sia – sia. Suara itu telah bersatu padu dengan bunyi
gemercik air. Sementara, hujan yang kian menderas membuatku tak menemukan cahaya
dimanapun, hitam gelap bagaikan malam tanpa bintang. Aku tergeletak tak
sadarkan diri dengan rasa sakit yang bertubi – tubi.
****
“Kamu sudah siuman? Bagaimana rasanya
sekarang? Ada yang sakit?” ruangan berdekorasi serba putih dengan harum
bunga anyelir memberikan rasa nyaman di sekujur tubuh, tanganku tersambung
dengan selang infus yang tergantung di sisi kanan, langsung merasa ngilu saat
itu juga. Di sisi kiri, guratan cemas datang dari wanita paruh baya berumur setengah
abad, namun kecantikannya dapat menyandingi wanita dengan umur dua puluh tahun
lebih muda darinya.
“Masih sedikit pusing, Ma. Tapi
jangan khawatir, Aku tak apa.” Mama selalu saja baik, merawatku dengan sepenuh
jiwanya, memberi kehangatan di setiap sentuhannya, dan selalu mengajarkanku
arti dari ketulusan. Itu yang membuatku merutuk diri sendiri. Tak bisa
membanggakan bunda, malah terus merepotkan.
“Dia akan kembali. Yang harus Kamu
lakukan saat ini adalah hanya percaya.” Jeda sejenak. “Bahwa dia tak akan
ingkar janji.” Kalau ada pepatah yang mengatakan, ibu selalu tahu perasaan anaknya, bahkan sebelum diutarakan sekalipun. Itu
benar adanya.
“Ayah ingkar janji pada Kita.
Tapi apakah mama akan tetap percaya?” beliau membeku sejenak, kesalahan lagi, fikirku.
“Ya. Karena pada dasarnya tidak
ada orang yang ingkar janji, namun itu semua kembali pada tuhan, jikalau yang
diatas tidak menghendaki, pasti tak akan terjadi. Mama yakin ayah tak ingkar pada janjinya.”
Bahkan di tengah kondisi seperti ini pun, ia tetap tersenyum. Sungguh, aku iri
padanya.
Disaat aku berumur lima tahun, mama sedang hamil tua. Ayah berjanji akan pulang pada hari itu, mengingat
kontraknya di Hongkong telah usai, serta mama yang juga akan melahirkan adikku. Kami
sudah menyiapkan perayaan untuknya, walau hanya kecil – kecilan. Tetapi, takdir
berkata lain. Pesawat yang membawanya serta 216 penumpang lain tak kunjung
sampai. Dua hari kemudian, dikabarkan bahwa pesawat yang ditumpanginya hilang
di tengah laut. Hingga kini jasadnya pun tak ditemukan. Hingga sekarang, mama
masih terus tegar membesarkanku dengan senyum kebahagiaan yang jarang kulukis,
beliau memang malaikat yang sengaja diturunkan tuhan untuk menjagaku.
“Jadi ayah tak ingkar janji?” ia
membiarkanku istirahat tanpa menjawab pertanyaan tadi. Tapi senyumannya
kuanggap sebagai jawaban.
“Ayahmu adalah lelaki sejati.
Kau tahu, hanya pecundang yang berani ingkar janji.” Bisiknya di sela tidurku.
Telingaku masih bisa mendengarnya dengan jelas.
****
Alunan musik klasik menggema di
tempat ini. Dengan kain tebal dan kupluk yang biasa ku gunakan untuk bermain
dengannya, ku beranikan diri untuk menatap lurus ke depan. Kepada seseorang
yang sama sekali tak ingin ku tatap wajahnya.
Guratan senyum terlukis
diwajahku, “Mama benar, kalian tak pernah ingkar janji padaku. Kalian telah
membuktikannya. Terimakasih.” Aku menarik nafasku dalam. “Terimakasih karena
kamu mau berjuang untukku. Aku tahu kamu telah melakukan yang terbaik.”
“Aa... Aku...” Aku melahap
oksigen dengan rakus seraya terus memejamkan mata menahan air mata yang tidak
boleh tumpah untuk sekarang ini. Tidak, dia tak boleh melihatku menangis. “Aku
bahagia karena kamu udah damai di alam sana.” Bunda Helena masih saja terus
mengusap bahuku sesekali. “Aku bahagia karena kamu udah nggak perlu nahan beban
sakit lagi. Dan aku juga bahagia karena kamu udah nggak perlu memperjuangkan
janji kamu padaku. Aku bahagia, Raka.”
“Shilla... Raka menitipkan
sesuatu padamu sebelum Ia pergi dari sini. Maaf ya kalau bunda baru sempat
memberikannya padamu.” Aku mengangguk dan menerima kotak berwarna jingga itu.
Aku tersenyum miris, kau masih ingat
rupanya tentang warna kesukaanku.
Saat
kubuka kotaknya, bola salju yang sangat kuimpikan ada di hadapanku. Dulu, saat
aku dan raka masih berumur enam tahun, kami memang pernah mengunjungi salah
satu toko mainan dan Aku ingin sekali membeli bola salju tersebut. Namun karena
mainan itu terlalu mahal bagi kami, Aku hanya pulang dengan tangan kosong
sambil menangis tersedu – sedu. Aku tertawa, pengalaman yang memalukan memang.
Ada juga surat dengan tulisan sangat khas miliknya. Ya, terkadang Aku lebih
memilih untuk berbaik hati menuliskan semua tugas – tugasnya karena tak tahan
melihat cemoohan semua guru yang anehnya membuat dia merasa senang.
Tak sabar melihat isinya, Aku
pun membaca dengan perlahan.
Teruntuk : anak
jelek.
Dari : lelaki
paling ganteng di dunia.
Pertama. Aku minta kamu hapus air
mata kamu. Udah jelek jadi makin jelek aja nih, Bek. Bebek, maaf ya soal
kepergian aku dan rahasia ini. Aku nggak mau sebenernya kasih tau kamu. Tapi ya
karena aku baik jadi ya nggak papa deh.
Ini emang udah lama sih divonisnya.
Aku juga sebenernya nggak percaya. Eh tapi makin kesini emang beneran makin
parah penyakitnya. Jadi aku terpaksa bohong mau keluar negeri karena lanjutin
sekolah. Padahal Aku berobat disana, hehe.
Tapi inti dari surat ini, aku mau
hibur kamu dengan kenangan kita, biar kamu nggak ngelebarin bibir kamu lagi.
Soalnya makin mirip sama bebek sih, haha peace yo!
Masih ingat soal guratan AKASHI
FOREVER di pohon dekat rumah kita?
flashback on ---
“AAAAAH Rakana! Kembalikan punyaku! Rakana!” seorang bocah perempuan
mengejar si pemilik rambut keriting itu sambil terus merengek meminta sesuatu.
“Tidak bisa! Wee, kejar dulu dong kalau mau!” mereka terus saling
mengejar hingga bocah perempuan itu terduduk lemas.
“Aku nggak kuat kejar kamu lagi. Aku capek.” Tak lama kemudian, si
pemilik rambut hitam legam tersebut langsung menangis dan terus merengek.
Bocah yang diketahui bernama Rakana itu menghampirinya dan memakaikan
bando berwarna jingga itu pada temannya yang sedari tadi tidak berhenti
menangis. “Udah deh, Aku minta maaf. Kamu mau kan maafin Aku? Nanti kita main
sama – sama deh. Mau kan?” tawarnya sambil mengacak lembut rambut perempuan
itu.
Dengan malu – malu, Ia mengangguk dan menerima uluran tangan dari Raka.
“Tapi kamu janji ya jangan nakal lagi.”
Raka membawanya ke suatu tempat dimana terdapat pohon besar di depannya.
Ia juga telah menyiapkan sekop, dan peralatan lain.
“Kita mau main tanah ya, Rakana?” tanya bocah perempuan itu bingung.
“Nggak dong. Nih kamu pegang ranting ini. Terus kamu tulis singkatan nama
kamu.”
Gadis itu menurut dan menuliskan “Shi”. “Karena namaku Shilla, jadi Aku
tulis Shi saja ya!” Raka mengangguk dan menuliskan singkatan namanya didepan
nama Shilla. Ia menuliskan “Aka.” Namun tak disangka, Raka juga menuliskan
forever dibelakang tulisan Shi.
flashback off ---
Aku menaruh cincin berbahan emas imitasi yang bahkan telah karatan di
pusarannya. Ya, itu pemberiannya sejak kami masih duduk di sekolah dasar. Dan
cincin itu masih melekat di jemariku hingga saat ini.
Terimakasih tuhan, terimakasih karena engkau telah memberikan kebahagiaan
untuknya. Peluk dia tuhan, sampai nanti Aku pergi menyusul dan ikut memeluknya
dengan erat.
Rakana, terimakasih karena kamu tidak pernah ingkar janji, terimakasih
untuk selalu berada didekatku, dulu, kini, hingga selamanya. Rest in peace, my half soul.